Nama : Desy Natalia Halawa
NPM : 13.852.0003
Jurusan : Administrasi Negara
Mata Kuliah : Ilmu Pengantar Politik
Pemilu 2014: Pikir
Ulang, Caleg yang Sekadar Menjual Popularitas!
Popularitas rupanya tidak lagi sekadar
istilah akrab di panggung hiburan tanah air atau sebagai istilah akrab para
biduan pertelevisian.
Demi kepentingan eksistensi, partai
politik berlomba-lomba menggandeng para artis, kendati popularitasnya sangat
layak dijual, sekaligus sebagai modal untuk memperbesar potensi raihan suara
dalam pemilu. Media massa mampu menentukan pilihan seseorang setelah ikut
membentuk, manipulasi citra yang dilakukan seorang kandidat. Terbukti, ada
peningkatan jumlah pemilih secara drastis terhadap seorang calon legislatif,
setelah dipublikasikan media massa. Itulah sebabnya, popularitas artis-artis
banyak didekati partai politik untuk menjadi jago mereka. Karena sangat sedikit
dari kader mereka yang benar-benar ngetop. Maka dengan menjagokan kepopuleran
dari artis tersebut, partai politik tak perlu capai-capai sosialisasi dan
memopulerkan nama dan nomor partainya. Nama partainya akan semakin membahana,
berbanding lurus dengan tingkat popularitas calon legislatifnya. Namun yang
disesalkan, apakah aspek kualitas menjadi dinomor sekiankan oleh para elit
politik.
Berita terhadap orang-orang tertentu seperti:
selebriti, public figure, orang-orang penting, atau orang-orang ternama, dapat
lebih dijadikan suatu nilai berita yang bisa diterima masyarakat karena
orang-orang tersebut sudah dikenal melalui media massa, sehingga apa yang
terjadi pada diri si tokoh tersebut, menjadi perhatian masyarakat yang kini
disebut sebagai masyarakat informasi.
Dalam kaitan ini, para artis atau
selebritis tentunya dikenal oleh masyarakat luas melalui tayangan-tayangan
sinetron, film, dan infotainment atau tayangan gosip yang selalu memberitakan
sisi pribadi artis. Masyarakat merasa dekat dengan si artis karena terpaan
media yang setiap hari selalu memberitakan mereka, sehingga ketika artis
mencalonkan diri dalam suatu pemilihan umum, tak heran lagi media beramai-ramai
memberitakannya karena diri si artis itu sudah mengandung nilai berita dan
pantas untuk diketahui masyarakat.
Di Indonesia sendiri perilaku
semacam ini juga menjadi pola yang sangat digemari partai politik. Mereka
cenderung merekrut orang-orang yang memiliki popularitas. Artis (pemain musik,
bintang film, pemain sinetron, mantan putri Indonesia) diharapkan dapat
membantu meraih suara masyarakat”.
Popularitas dijadikan tolok ukur
utama suatu keberhasilan. Orang yang berkualitas tetapi tidak berada dalam
lingkaran kekuasaan pun menjadi tersisih. Sebaliknya, mereka yang berada dalam
posisi pusat perhatian media massa (artis) menjadi rebutan partai-partai
politik. Semakin besar jumlah penggemar, semakin tinggi nilai jual selebritis
bersangkutan. Popularitas pun dibangun menggunakan kampanye media massa yang
persuasif, kemasan yang lebih menyentuh hati dan terpaannya terus menerus,
sehingga berpengaruh terhadap komunikan yang tidak lain
adalah masyarakat luas. Efek yang diharapkan tentu saja sang calon pemimpin
menempel di hati pemilih.
Fenomena popularitas artis dalam
dunia politik ini juga disuburkan oleh kondisi dan karakteristik masyarakat
Indonesia. Di tengah rendahnya partisipasi politik dan minimnya pengetahuan
publik terhadap sosok kandidat, maka popularitas menjadi lebih penting dari
visi-misi. Lepas dari popularitas, kemampuan, pengalaman, serta program kerja
yang dimiliki kandidat, tidak akan terlalu menjadi perhatian masyarakat. Hal
ini wajar jika dilihat dari karakterstik masyarakat Indonesia yang mayoritas
buta politik dan berpendidikan rendah. Kedua hal tersebut membuat rakyat tidak
peduli pada visi, misi, program kerja, dan janji-janji yang dikeluarkan pada
masa kampanye. Karena itu, tak heran popularitas menjadi senjata ampuh dalam
memenangkan suara rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar